Flash Message

Rabu, 18 Mei 2011

Burger Batok, burger dengan sensasi lokal yang medhok

Burger Batok: nyentrik dengan elemen grafis etnik
Ada burger dalam tempurung! 'Bungkus' bernuansa etnik di kedai ini 'sukses' membangun atmosfir lokal hingga menyulap menu asing ini bagai 'bule rasa kampung'.

Genta dgn efek nada khas Jawa/Sunda
Roti isi daging bakar yang secara genetik turunan bule itu justru sangat 'njawani'. Dilokalkan sedemikian rupa hingga terasa dekat dengan selera lidah Nusantara. 

Di kedai yang berlokasi di Kompleks Waroeng Kampung, Jalan Swadaya di samping Markas Polsek Metro Duren Sawit Kalimalang, Jakarta Timur ini, burger yang sudah 'berbaur' dengan rasa lokal memiliki identitas baru.

Siapapun yang datang ke sini akan disambut ruang lapang tanpa sekat dengan elemen-elemen grafis bernuansa etnik dan sentuhan humor khas Jawa. Di selasar samping yang juga berfungsi sebagai ruang santap, beberapa perangkat kursi-meja dari bambu dan kayu jati lawas tersebar. Sementara dindingnya terlihat meriah dengan kolase aneka grafis warna-warni dan tulisan yang menggelitik.

Makan burger dari dalam batok, ngopi pakai cangkir batok
Disebut burger batok karena mengacu pada keunikan cara masak dan penyajiannya. Daging dibakar di dalam batok kelapa, dioles dengan saus barbeque khusus, keju parut dengan mayones berpadu dalam sayuran yang "Indonesia banget": kol dan tomat. Rotinya cukup lembut dan empuk.

Burger dihidangkan sekaligus dengan batok yang cukup untuk membuat panas burger lebih lama, ditambah sensasi aroma wangi sangit khas batok pada kulit roti.

Martabak Palembang, mantap disantap dengan kuah kentang

Martabak Palembang : telor menjadi satu-satunya isi di dalamnya
Isinya bukan campuran daging cincang, potongan daun bawang dan irisan bawang Bombay. Hanya  berisi telor (bisa telor ayam atau bebek) yang dibungkus kulit martabak yang lembut. Kuahnya, bubur’ kentang encer dengan potongan daging (sapi) kecil-kecil.


Udara dingin sehabis hujan memang paling enak menyantap makanan panas. Dan martabak Palembang bisa jadi hot deal.

Sebenarnya makanan ini masuk dalam kategori martabak telor. Namun bila martabak telor pada umumnya berisi daging, telor bebek atau ayam, potongan daun bawang dan irisan bawang Bombay, martabak Palembang hanya  berisi telor (bisa telor ayam atau bebek).

Selain itu, martabak Palembang ini makin mantap disantap panas-panas bersama kuah kentang yang menyerupai ‘bubur’ kentang (agak encer) dengan potongan daging (sapi) kecil-kecil.

Di Jakarta, salah satu  tempat yang pas untuk makan martabak Palembang ada di kedai tenda Martabak “Haji AR”, Jl. Biak - Roxy. Konon, di ‘negeri’ asalnya di Palembang, nama Martabak Palembang “HAR” sudah begitu ‘nyohor’ dan menjadi salah satu ikon untuk martabak Palembang.

Kembali ke martabak…
Kulit martabak Palembang ini terasa lunak, tak seperti martabak telor umumnya yang cenderung krispi. Dari segi dimensi, martabak ini tak terlalu tebal dan porsinya tak sebesar martabak telor biasa. Saat pesanan diantar, seporsi martabak datang bersama secawan kecil ‘bubur’ kentang encer yang gurih sebagai kuahnya. Agar lebih hot, jangan lupa tambahkan lada atau sambal ke kuah kentangnya. Hmmm.. 

Senin, 09 Mei 2011

Nunggu di Halte, Tongseng yang Datang...

"Ruang makan publik" di halte Taman Musi
Halte ternyata bukan cuma untuk menunggu angkutan umum. Di Jl. Musi - Jakarta Pusat, orang ke halte justru untuk makan siang.

Ya, tongseng salah satu menunya! Lapak tongseng itu memang mangkal di samping-belakang halte, praktis area terbuka halte berubah menjadi ‘ruang makan publik’ - lengkap dengan hawa outdoor dan view lepas seutuhnya. Lebih happening

Di area halte yang ini juga menjadi pangkalan ojeg dan lapak tambal ban di sisi kiri-kanannya. Dan nyatanya, penyalahgunaan fasilitas ini justru 'dimanfaatkan' lebih dari sekedar menunggu dan sama-sama 'menikmati'. Yang jual dapat tempat strategis, yang makan dapat suguhan makanan enak. Klop!

Soal rasa, tongseng kambing sini lebih istimewa daripada kedai tongseng di Pondok Bambu - yang pernah saya cicipi - yang diklaim sebagai ‘langganan’ istana dan Cendana itu.

Masih pakai Anglo arang batok
Di jaman modern ini, tongseng boleh jadi termasuk salah satu menu lokal yang tak tergantikan oleh kemajuan teknologi: tetap menggunakan anglo (kompor arang) dengan arang batoknya. Kompor gas mungkin bisa mempercepat proses memasak, tapi sayangnya aroma 'sangit' khas asap arang artifisial hingga saat ini belum bisa diciptakan.

Selain pemanas jadoel tadi, pikulan tongseng yang khas (ditempatkan di atas gerobak dorong untuk kepraktisan) masih dipakai. Bahkan kipas yang digunakan pun masih manual, dari anyaman bambu. Lengkap sudah nuansa original tongseng ini.

Bagi yang ingin makan tongseng ini akan dipersilakan duduk di bangku plastik single di area halte. Dan saat matang, semangkuk tongseng pun di antar ke ‘meja’ marmer di bawah tiang halte yang sejatinya sebagai tempat duduk orang menunggu angkutan. Selain tongseng, pembeli yang mayoritas para pekerja kantor di sekitarnya itu juga bisa menikmati gule kambing.

Kuahnya kental-sedep, dagingnya... mmmpuk
Balik ke tongseng, kuahnya yang diambil dari kuah gule begitu kental. Terasa gurih-mantap, dengan daging yang empuk dengan bumbu yang meresap pas ditambah beberapa iris lemak dan isi khas gule kambing.

Di sini bisa memilih, mau duduk dengan view belakang halte yang notabene ada gerobak dagangan lain seperti mie ayam, dan pagar rumah orang, atau menghadap jalan sambil memperhatkan kendaraan yang melintas. No best view. Only best taste!

Buah (rumbia) jatuhnya di cobek Rujak Aceh

The art of Fruits Mixing








Bila rujak buah umumnya mengunakan asam Jawa atau lobi-lobi sebagai unsur rasa asam- penyegar, maka rujak Aceh menggunakan buah (pohon) rumbia (sagu).

Sekilas, rujak uleg Aceh tak jauh beda dengan rujak potong lainnya yang menggunakan irisan buah dengan bumbu pasta gula merah dan kacang yang diuleg. Variasi buah yang digunakan mungkin 5 jenis saja. Hanya pada bahan bumbunya, memang menggunakan buah "rumbia" digunakan sebagai pemberi rasa asam-sepat.

Uniknya, cobek yang digunakan untuk menguleg bumbu pasta rujak tidak terbuat dari batu seperti pada umumnya tapi di atas tong barrel (kayu). Seperti rujak Aceh di Kedai Mie Aceh Bang Jali, ITC Ambasador - Jakarta, di 2/3 bidang datar tong kayu ini, potongan beberapa macam buah seperti mangga, jambu air, bengkoang, pepaya dan nanas sudah disiapkan lebih dulu. Sedangkan 1/3 sisa bidang kosong digunakan sebagai tempat menguleg bumbu pasta dengan ulekan kayu.

Buah rumbia yang wujudnya menyerupai buah salak ini adalah buah dari pohon palem sagu (rumbia). Hanya saja ukurannya jauh lebih kecil dari salak dengan diameter sekitar kurang dari 3 cm. Buah yang sangat sukar diperoleh di tanah Jawa. Dan memang, si abang memperolehnya dari kiriman kerabatnya yang di Nanggro Aceh Darussalam sana. Perjalanan si buah rumbia ini bahkan lebih jauh dari jarak Singapura-Jakarta... :)

Kamis, 05 Mei 2011

Ada rasa Palembang di Kupat Tahu Magelang

Dapur Saji Kupat Magelang
Ada makanan yang sangat identik dengan daerah asalnya dan menjadi icon. Tapi siapa kira jika Kupat Magelang ini kuahnya sedikit 'nyerempet' rasa kuah pempek Palembang dari pulau seberang sana?

Rasa lapar di 'jam nanggung' sore hari saat perjalanan kembali ke kantor spontan membuat saya singgah ke Kupat Magelang "AA". Setelah mengorek informasi dari pelayan kedai tentang spesialisasi makanan yang dijual, saya pesan Kupat Magelang "Spesial".

Dapur terbuka yang menyatu dengan ruang makan membuat siapapun bisa melihat pelayan menyiapkan pesanan. Gemuruh kompor masak yang diikuti bunyi minyak goreng yang mulai panas, terdengar. Pelayan mengocok telur dan "Nyessss...", telur dadar disiapkan. Aroma gurih telur goreng memenuhi ruangan dan gesekan sutil logam di ceruk wajan besar. Sensasi yang menyenangkan saat menunggu pesanan.

Beberapa menit menunggu, pesanan pun diantar ke meja saya. Seporsi Kupat Tahu Magelang Spesial ini adalah hasil kolaborasi potongan ketupat dan tahu goreng, kecambah (tauge) matang, irisan telor dadar. Kuahnya agak kental warna cokelat kehitaman dari air, gula merah, cuka, sedikit tumbukan kasar kacang tanah yang digoreng, lalu disajikan dengan taburan daun seledri dan bawang goreng renyah, plus kerupuk. 
Kupat Magelang Spesial
Aroma gurih khas telor dadar dan tahu goreng 'curi start' langsung menyapa hidung. Spontan, saraf di lidah bekerja, seolah memberi 'preview' rasa makanan di depan saya.

Sendokan pertama, ketupat yang lembut dan gurihnya telor dadar masuk bersama toge matang yang segar, diiringi asam-manisnya kuah kental beraroma bawang putih dengan kekentalan sedang yang mirip kuah "cuko" pempek palembang. Setelah ditambah sambal, rasanya lebih mantap.

Asik meresapi makanan yang saya kunyah, tiba-tiba..

Rabu, 04 Mei 2011

Wedang Uwuh: Hangatnya Air 'Sampah' si Penawar Lelah

It's real hot, man!
Minuman eksotis dari herbal ini bukan cuma asik dinikmati saat cuaca dingin. 'Bonus' manfaat penyegar stamina membuatnya banyak dicari para 'pemburu kehangatan', terutama saat kondisi tubuh sedang drop. Spice up the nights!
'Limbah' rasa rempah
Wedang Uwuh, sesuai namanya (Uwuh atau sampah dalam bahasa Jawa) memang full 'limbah' dari aneka rempah yang sepintas memang mirip remahan sampah kebun. 

Wedang uwuh ini bisa digolongkan sebagai jamu ringan karena larutannya yang tidak pekat dan cenderung bening, juga rasanya yang tidak pahit. Penyiapannya pun cukup diseduh dengan air mendidih lalu ditambahkan gula batu.  


Ide Raja Jogja

Konon, minuman racikan herbal khas Bantul,Jogja, ini awalnya...

Selasa, 03 Mei 2011

Kedai H. Asari nan asri, nikmatnya bersantap sambil relaksasi

Pintu Utama
Makan enak di tempat yang nyaman mungkin sudah biasa. Tapi makan enak plus 'bonus' relaksasi dengan suasana 'galeri seni', di sini tempatnya.
Dengan penataan yang artistik dan asri, efek relaksasi dari elemen-elemen dekoratif interior dan lingkungan kedai yang tak jauh dari pasar Lenteng Agung ini, langsung terasa

Barisan pohon kelapa dan kombinasi tanaman hias lainnya dengan dekorasi taman yang asri, menyambut ramah. Panasnya suhu di luar langsung redam saat berada di dalam meski ruangan berkapasitas hingga 90 orang itu tak ber-ac.

Di sisi depan pintu masuk, tampak sebuah batu alam berbentuk oval yang dipahat sedemikian rupa hingga menciptakan lubang seperti bath tub yang artistik sebagai tempat menaruh payung.

Batu alam tempat menaruh payung.
Masuk lebih ke dalam, langsung terasa suasana ruang makan yang yang juga menyediakan area lesehan itu begitu 'hidup'. Menggairahkan. Riuh orang bercakap-cakap di antara dentingan sendok-garpu yang bergesekan dengan piring secara berirama ikut membangkitkan selera makan.



Ruang makan yang hangat dan hidup dengan 
selingan bunyi pancuran air kolam ikan
Dinding ruang makan dihiasi elemen-elemen dekoratif dari batu Palimanan dengan kombinasi efek pencahayaan, atap tanpa plafon dengan eksposur kayu-kayu rangka kuda-kuda yang memberi efek lapang. Ditunjang oleh perangkat meja-kursi kayu yang serasi lengkap dengan lampu gantungnya dan kolam-kolam indoor minimalis dengan air yang menyejukkan, 'ruh' nuansa resort tropis yang banyak ditemukan di hotel-hotel di Bali seolah hadir di sini.   Kedai Asari juga punya dapur terbuka dengan setengah dinding depan berlapiskan batu tempel alam dan tiang kayu pohon berdiameter 20cm dengan lekuk permukaan halus yang masih terlihat asli.  
Open Kitchen. Hidangan minuman disiapkan di sini.
Sambil menunggu pesanan, saya sempatkan berkeliling. Inspeksi! Mulai dari toilet, wastafel, musola dan paviliun samping. Dan apa yang saya lihat benar-benar surprising! Untuk ukuran rumah makan yang bukan terletak di pinggir jalan utama, selera penataan interior dan landscape di tempat ini pantas diapresiasi.

Senin, 02 Mei 2011

Uli Bakar cocol Gula-Serundeng, secuil kenikmatan masa lalu

The 'Grill Master'
Makanan jadoel dari ketan putih ini jadi hidangan utama di kedai kopi dekat pasar. Tak ada jajanan lain kecuali uli bakar, kopi dan teh. Uli bakar sejarah awalnya (mungkin) tergolong 'survival fastfood ' yang memenuhi 4 kriteria: cepat, murah, enak dan... kenyang!

Untuk menyantapnya, tak ada tempat paling pas selain duduk di bangku papan persis depan grill – di meja yang menempel di kedainya. Karena di sini selain bisa melihat si abang penjual membolak-balik potongan uli di atas panggangan, saat itulah the fresh uli from the grill tersaji di depan mata dan bisa langsung dicomot!

Bubur Ase, Rasa Nampol Bubur Betawi dari gang Senggol

Tampak Depan

Sebenarnya makanan jadul khas Betawi ini sudah tak asing lagi bagi para ‘pejajan tangguh’ alias penikmat kuliner lokal. 

Karena letaknya yang masuk ke dalam ‘gang senggol’, mereka yang bermobil agaknya perlu sedikit ‘berkeringat’ untuk cari parkir di ujung ruas jalan Kebon Kacang III. Buat yang bermotor.. silakan menyesuaikan diri kalo mau parkir dengan ruas jalan yang sempit di dekat mulut gang. That’s the challenge! :) 

Plank Bubur Ase Betawi “Bu Neh” terpasang di bagian atas depan warung sederhana ini. Sebuah meja makan panjang diapit sepasang bangku papan di kanan-kirinya terlihat di teras yang sempit. Di meja, aneka jajanan jadul seperti lontong kentang, pastel dan donat tabur gula digelar rapi di baki bertutupkan lembaran plastik buram tebal. Tak ketinggalan setoples sambal kacang encer. Cahaya matahari yang agak terhalang dinding rumah sebelah menimbulkan efek redup.

Setelah pesan, sebentar saja seporsi bubur Ase sudah tersaji di hadapan saya.

Ini dia, Bubur Ase (Asinan encer), bubur beras dengan kecambah/toge matang, semur kombinasi daging-tahu-kentang beserta kuah manis kehitaman, dengan topping kacang goreng bawang goreng, irisan daun bawang, kerupuk merah dan emping.

Sendokan pertama, rasa manis khas dari kuah semur langsung menyelinap di mulut bersama bubur yang hangat, disusul renyahnya toge matang berbaur daun bawang, emping dan kacang tanah goreng.